Rabu, 19 Desember 2012

Bunga-Bunga Impian: Respon Seni untuk Alam

Bunga-Bunga Impian: Respon Seni untuk Alam

Mike Susanto 

2011 











International Cultural Centre (ICC) merupakan sebuah ruang pamer yang menekankan hubungan alam dan budaya. Ruang yang dimiliki berupa dataran yang landai dan berbukit, danau air yang tenang, serta beratmosfir hawa sejuk, serta gunung ibarat kanvas yang menantang. Hijau pepohonan dan jalan setapak bebatuan adalah media pembebasan bagi seniman untuk tidak melupakan kebutuhan manusia atas alam. Kolam ikan dan kolam renang, amphitheater, dinding gedung yang menjulang, dan sarana rekreasi lain adalah arsitektur yang membentuk imaji mengenai ruang. Singkatnya, ruang berupa alam terbuka mengundang semua untuk mengisi dengan segenap interpretasi dan makna.
Ruang terbuka tidak saja sebagai tempat, namun juga menyimpan sejuta konsep yang tak mungkin terbendung oleh pikiran manusia. Sangat tidak mungkin Tuhan menciptakan ruang sebatas yang kita lihat. Dunia adalah ruang yang dibatasi “tembok” imajiner, sedang ruang di luar imajinasi kita adalah ketakberhinggaan. Lalu mampukah manusia menghadirkan karya-karyanya sebagai bagian ruang antara tersebut? Alam, manusia dan kultur adalah jawabnya.
Pameran ini berkeinginan mengetengahkan pergulatan para perupa dalam mengeksplorasi keberadaan manusia itu sendiri, merespons alam, dengan median seni rupa. Trinitas  atau hubungan manusia, alam, dan seni hendak ditawarkan sebagai sebuah jawaban untuk mengantisipasi ketidak-tahuan dan ketamakan manusia, maupun segala persoalan yang kini kerap mendera kehidupan alam kita. Pada prinsipnya, pameran ini hendak memberi nilai-nilai yang bermakna dari sekadar keindahan yang telah ditawarkan oleh alam sekitar kita, khususnya lingkungan ICC. Seni dalam hal ini bukan sebagai penghias saja, akan tetapi juga menjadi elemen yang bermakna bagi pikiran dan kesadaran manusia.
Anda sebagai penonton akan disuguhi dengan sejumlah karya seni, tepatnya seni patung. Karya-karya yang diikutsertakan merupakan pengembangan dari seni patung konvensional. Para perupa yang diundang merasa bahwa lahan yang ada di ICC sangat mencukupi untuk menggerakkan kesadaran manusia dalam melihat kasus-kasus maupun persoalan-persoalan di ruang yang lain. Artinya ICC adalah sebuah laboratorium kecil dengan berbagai keunikannya. Sedangkan karya seni yang disertakan tentu saja tidak hanya bersifat kuat, tahan panas, dingin, hujan, debu, akan tetapi juga bersifat menyatukan gagasan mengenai nilai estetik, kesadaran akan alam, dan respon simbolis tentang isu-isu kontekstual.
Dalam perspektif umum, ruang yang dapat diinterpretasi dalam beberapa hal: Pertama, ruang sebagai materi; tempat; lokus; dimana ruang dianggap hanyalah sebagai wadah untuk ditempati oleh elemen, objek, atau benda apapun tanpa memperhitungkan kebermaknaan sebagai hal utama. Kedua, ruang sebagai konsep visual atau sebagai immaterialisasi bentuk, artinya ruang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang besar atau tak berhingga. Ruang dalam perspektif ini “disederhanakan” dengan kata pengganti yang unik dan khas, seperti sebuah benteng kuno sebagai bangun sederhana: bujur sangkar, atau dunia sebagai bola dan sebagainya. Ide ruang semacam ini berasal dari usulan dari ide Hegel yang telah diaplikasi oleh para pelukis abstrak seperti Piet Mondrian.
Ketiga, ruang sebagai inspirasi. Dalam konteks ini ruang adalah alam itu sendiri. Segala hal yang ada dalam sebuah ruang yang berbatas maupun yang tak berbatas dapat menjadi sumber ide, meskipun ruang tersebut tidak dipakai sebagai bagian atau elemen yang bersifat materialistik dalam sebuah karya. Ia berperan sebagai sebuah objek. Keempat, ruang sebagai dimensi. Sebagai sebuah wujud, ruang sering dimanifestasi untuk berbagai keperluan: dua dimensi, tiga dimensi, dan empat dimensi. Dengan adanya model dimensi, seniman maupun pengunjung tidak hanya memiliki sudut pandang yang sama, tunggal, dan sempit. Ruang sebagai dimensi menawarkan “rekreasi” perspektif yang dalam dan mengejutkan.
Keempat hal mengenai ruang yang tertera di atas adalah bagian dalam pameran ini. Pembaca dapat melihat bahwa karya-karya yang tersaji dalam pameran ini merupakan karya yang bersifat multipersepsi, bahkan pada konsep ruangnya. Beberapa karya seni patung yang dipamerkan menyingkap tabir ruang yang hanya sebagai wadah (seperti karya Dunadi, Desrat, Ono Gaf, dan Yoga) maupun karya yang menyebabkan ruang sebagai konsep simbolik (seperti pada karya Ismanto dan Upadana).
Sebagian besar karya yang dipamerkan tersaji dalam beberapa bentuk teknik. Sebagian besar berupa karya seni patung yang berbasis kerja merangkai benda-benda temuan (seperti pada karya Fransgupita, Ismanto, Lutse, Ono, dan Saroni), patung-patung cor (seperti pada karya Hedi, Syahrizal Koto, Dunadi, Wayan Upadana, dan Desrat), maupun “karya patung” berupa benda alam (seperti karya Wayan Sujana dan Yoga Budhi). Sehingga tampak bahwa variasi teknik dan bahan dalam pameran luar ruang amat kental. Semoga sajian semacam ini dapat menginspirasi pemikiran tentang kajian seni patung dewasa ini.
Setidaknya para penonton dapat menikmati sajian ini sebagai refleksi atas berbagai kejadian baik yang dialaminya sendiri maupun dialami orang atau sekelompok lainnya. Seni patung yang dipamerkan hanyalah perantara awal, sebagai pemicu gagasan dan interpretasi terhadap sejumlah hal besar yang kita hadapi sebagai bagian dari masyarakat dunia. Intinya, dari alam kita mengambil nilai-nilai. Alamlah selama ini yang menjadi bunga impian, di tengah mimpi-mimpi kelam tentang berbagai tingkah manusia yang merusaknya. +++
Teks per perupa, dalam katalog diletakkan bersanding pada setiap karya perupa:
  1. 1.      Desrat Fianda
Karya Desrat berbasis pada kesadaran bahwa seni adalah alat untuk menggulirkan pesan-pesan. Desrat tidak hanya menjadikan seni sebagai penghias ruang yang tujuannya hanya menjadikan manusia lupa atas berbagai hikmah di sekitar kita. Desrat membawa karya dengan objek utama pacul (cangkul). Namun jika diperhatikan dengan seksama, pacul besar yang dipakainya adalah sekumpulan teks yang disatukan. Bagian utama paculnya adalah baju yang telah dilipat dan dirapikan. Maka jadilah sebuah pesan singkat, jika biasanya pacul dipakai oleh petani, kini pacul itu berganti rupa, menjadi baju jas yang eksklusif. Sebuah satir yang mendalam, bahwa sejata yang biasanya untuk bekerja, telah beralih rupa. Ukuran karya yang gigantik menjadikan karya ini ingin menawarkan perubahan dimensi ruang.
  1. 2.Dunadi
Dunadi memiliki spirit kritis yang sering direpresentasikan secara unik dan gigantik. Seringkali gagasan-gagasannya bersentuhan pada suasana multi-krisis di Indonesia, kehidupan alam dan kemanusiaan secara universal. Sehingga seni patung Dunadi selain memiliki fungsi personal (ekspresi pribadi) secara otomatis mentransformasi ke dalam dua fungsi lain sekaligus yakni: fungsi fisik (sebagai seni monumental) & fungsi sosial (pengingat peristiwa dan peindentifikasi krisis massa). Inilah bentuk kongkret dan unik dari peran kesenimanan Dunadi yang tak dimiliki perupa atau pematung lain. Alam bagi Dunadi adalah tempat bercermin menggali nilai-nilai . menariknya seringkali ia mengungkapkan konsepsi seninya dalam bentuk mimesis alam.
  1. 3.Fransgupita
Perupa yang tergolong masih sangat belia ini adalah penggemar lintas alam, khususnya dengan kendaraan bermotor. Ia mengenal alam tidak saja untuk dinikmati, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam karya-karyanya. Krisis alam maupun sosial masyarakat menjadi inspirasi karya-karyanya. Ia tidak secara khusus membuat karya dengan mencetak logam maupun membentuk dengan bahan baru. Ia lebih suka memanfaatkan benda jadi sebagai media mematung. Ia adalah found object artist. Keindahan karya-karyanya terletak pada upaya memakai bahan yang nantinya memunculkan ide-ide baru yang bersifat kritis. Salah satu contoh menarik adalah karya Ora et Labora, dimana kemudi motor diubah selayak figure manusia. Objek berupa kemudi sepeda motor mengalami transisi fungsi dan secara teknis mampu memberi ruang tafsir pada para penonton untuk menggali hal-hal yang lebih dari sekadar kemudi.
  1. 4.      Hedi Hariyanto
Sejak awal karir kesenimanannya, Hedi Hariyanto adalah perupa yang bekerja dengan berbagai media. Bahkan sampai saat ini ia masih sering menggunakan bahan-bahan temuan yang ada di sekitar kita, dari objek berbahan logam, plastik, sampai makanan instan. Dengan menggunakan bahan temuan ia mampu menggali berbagai hal yang terkait dengan isu-isu sosial dan alam. Dalam beberapa pameran sebelumnya Hedi kerap diundang berkarya merespon bahan-bahan alam dan dipamerkan di luar ruang. Namun sesekali Hedi juga menggunakan bahan-bahan yang dicetak untuk menciptakan bangun karya maupun ide tersendiri. Pada pameran ini ia mengusung karya cetak yang berbentuk buah yang dideformasi. Ada tajuk alam yang terkait dengan dunia artifisial. Alam yang sedang digubah Hedi dalam karyanya tentu berfungsi agar para penonton merasakan betapa alam begitu penting bagi hidup manusia.
  1. 5.      Ismanto Wahyudi
Pematung Ismanto mencoba mengeksplorasi medan luar ruang berupa kolam sebagai “kanvas”. Dari dalam air tumbuh bunga-bunga yang berwarna merah muda. Menariknya, tangkai-tangkai bunga itu berupa besi dan menancap tajam, menyangga bunga yang berbentuk senjata: pistol. Ismanto dalam karya ini tidak berbicara mengenai alam secara langsung. Sebagai seniman ia seperti berpikir sebagai elemen alam yang turut menjaga keberlangsungan hidup. Sebagai pematung, Ismanto sering berkutat pada ide-ide simbolik. Maka tak salah bila dalam pameran ini keberadaan model berkarya simbolik seperti pada karya Ismanto juga menarik untuk ditampilkan.
  1. 6.      Lutse Lambert
Karya-karya Lutse berbasis teknik merangkai. Seperti pada beberapa perupa yang lain, Lutse memakai benda-benda temuan, khususnya berbahan logam sebagai media berkarya patung. Pekerjaannya tentu menelusuri pasar barang bekas dan bergaul dengan banyak pedagang rongsok, hingga ia secara personal memiliki hubungan dengan beberapa penyedia besi rongsok yang sangat menunjang karya-karyanya. Ia tinggal bilang butuh berapa ton dan berbentuk apa saja besi atau logam yang dibutuhkan. Pematung yang juga dosen di ISI Yogyakarta ini secara pribadi sangat mendalami objek visual berupa laba-laba. Berawal dari ketakutannya pada binatang penghasil benang tipis itu, Lutse mencoba mengurangi rasa takutnya dengan menggali informasi mendalam tentang laba-laba. Ketakutan tersebut rupanya menghasilkan sebentuk ide yang diungkap dengan media benda-benda logam temuan yang ia sukai. Hasilnya mencengangkan: Lutse seperti terobsesi mengaktualisasi laba-laba bagai robot-robot yang hidup.
  1. 7.      Ono Gaf
Ono amat mencintai dunia logam. Setiap hari ia berkutat dengan bentuk-bentuk besi bekas kendaraan ataupun mesin lainnya yang didapatkan dari berbagai tempat di sekitar kota Malang. Begitu intensnya ia menggeluti lekuk liku alias bentuk-bentuk barang bekas berupa logam, sampai-sampai tidak ada lagi batas bahwa besi-besi tersebut pernah menjadi atau merupakan bagian dari mesin. Hasilnya berupa “cangkokan” logam satu dengan yang lain membentuk berbagai figur semi abstrak maupun figur yang terdeformasi. Jika melihat hasil kerjanya, seni merangkai besi bekas versi Ono Gaf ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan teknik las. Las sebagai “lem”. Jelas sekali bahwa orientasi berkaryanya bersifat antropologis, semua ukuran merujuk pada dimensi manusia. Begitu lama akrab dengan besi dan logam yang dicangkoknya, kadang-kadang Ono memiliki pemikiran-pemikirannya juga sekeras besi.
  1. Saroni 
Mengapresiasi kerja kreatif Saroni sama dengan mengapresiasi keterampilan tangannya. Pemikirannya mengembara ke segala persoalan. Artinya pikiran dan tangannya ibarat pisau dan buah yang hasilnya enak sekaligus indah. Ia pernah mengungkapkan ide-ide mengenai isu sosial, lingkungan, juga aspek-aspek formal dalam kajian seni rupa. Keahliannya mengelola bahan adalah bagian yang tak bisa dilepaskan darinya. Oleh karena itu, menonton karya-karya Saroni adalah menonton detail. Kerajinan tangan yang dimilikinya tidak saja mampu menghasilkan kayu dengan ornamen yang halus (maklumlah bahwa ia juga anak Jepara yang dekat dengan dunia mebel berukir), namun kerja memadukan objek satu dengan yang lain juga menarik untuk dinikmati. Karya-karya Saroni bertajuk utama Sebatang Air ini disebar diseluruh ruang yang ada di ICC. Ia ingin mengatakan bahwa eksistensi air tidak saja berbentuk cair namun juga telah menjadi bagian dalam setiap tubuh atau batang makhluk hidup di dunia ini. Ia ingin memberi penghargaan terhadap air.
  1. 9.      Syahrizal Koto
Secara umum karya-karya Syahrizal Koto berbasis pada teknik cor logam dan resin. Sedangkan tema-tema yang dikerjakan didominasi oleh pemikiran tentang alam. Sebagian karya-karyanyanya mengekploitasi bentuk kuda dan elemen alam seperti daun dan benda-benda alam lain yang diekspresikan dalam bentuk-bentuk semi abstrak. Pada pameran ini Syahrizal Koto mengembangkan pemikiran dengan tema kasih sayang. Ia ingin mengungkapkan persoalan ibu bumi yang menurunkan semua makhluk ke dunia. Oleh sebab itu, patung yang dibawa berbentuk ibu sedang menyusui. Meskipun agak klise secara visual, namun isu ini rupanya akan tetap menjadi sebuah alunan klasik.
  1. 10.  Wayan Sujana Suklu 
Wayan Sujana atau Suklu banyak bergerak pada karya-karya lintas media dan isu. Basis berkaryanya memang seni lukis, namun sering pula ia mengungkapkan ide-idenya lewat karya-karya berbasis seni instalasi dan performans. Saat ini ia ingin menghubungkan berbagai khasanah antara ritual, seni, alam, dan ruang urban. ICC sebagai ruang urban yang berada pada suasana yang masih natural ini hendak ditafsir dengan sebentuk ritual. Suklu dalam pameran ini berkehendak tidak saja ingin mengurai ruang material berbentuk fisik, namun juga menandai dan menyemai kebersatuan ruang dengan dimensi alam dan spititual yang bersifat pribadi. Dengan mengambil ruang berupa bersilangan jalan yang membelah ICC ia ingin menanamkan sifat-sifat alam dengan sebentuk lelaku (performans) menanam tahi cacing pada persilangan jalan tersebut. Tahi cacing diketahui merupakan humus bagi tanaman kini juga semakin sulit dicari. Tahi cacing yang berukuran amat kecil ini rupanya mendapat tempat yang dominan dalam pameran luar ruang. Inilah “patung” yang dihidangkan dengan cara yang dramatik.
  1. 11.  Wayan Upadana 
Ia merupakan pematung muda yang masih terus menggeluti dunia tradisi Bali. Agaknya Upadana tidak ingin kehilangan jatidiri sebagai orang Bali. Ia sendiri merupakan orang Bali yang berada pada persimpangan zaman alias perubahan era, tak salah bila ia juga sedang mendokumentasi perubahan tersebut dalam setiap karyanya. Upadana tidak mengukur karyanya pada aspek material yang dipakai atau kecocokan ruang yang digunakan. Ia ingin menggulirkan simbolisasi ruang yang ada di ICC sebagai ruang yang turut menyelenggarakan perubahan tersebut pada dirinya maupun pada tradisi Bali, dan tradisi-tradisi lama lainnya. Tak salah bila karya Euphoria Globalisasi menjadi sebuah titik tolak untuk melihat bahwa ruang yang dimiliki ICC adalah ruang sebagai konsep yang simbolik. Meskipun pameran ini berlatar pameran “luar ruang”, namun “luar ruang” pada ICC ini merupakan bagian dalam sebuah pameran. Karya ini membuat persepsi ruang menjadi ganda dan kompleks.
  1. 12.  Yoga Budhi Wantoro
Selepas belajar di Jurusan Seni Patung ISI Yogyakarta ia semakin meneguhkan kecintaannya pada batu. Sejumlah karya pada pameran yang pernah diikutinya mengajukan berbagai tema seperti sejarah, sosial, lingkungan, maupun isu fromalisme seni rupa tanpa menggeser perhatiaannya pada medium batu. Dalam perkembangan sejarah dan teori seni rupa, material batu memang telah dikupas tuntas. Secara khusus, Yoga tidak berada pada kreativitas formal yakni mengolah bentuk batu semata. Akan tetapi lebih menekankan pada aspek simbolik. Kali ini ia bicara tentang kondisi kekayaan bumi. Batu diekplorasi untuk berbicara tentang eksploitasi batu (alam).

0 komentar: