Mike Susanto
2011
International Cultural Centre (ICC) merupakan sebuah ruang pamer yang
menekankan hubungan alam dan budaya. Ruang yang dimiliki berupa dataran
yang landai dan berbukit, danau air yang tenang, serta beratmosfir hawa
sejuk, serta gunung ibarat kanvas yang menantang. Hijau pepohonan dan
jalan setapak bebatuan adalah media pembebasan bagi seniman untuk tidak
melupakan kebutuhan manusia atas alam. Kolam ikan dan kolam renang,
amphitheater,
dinding gedung yang menjulang, dan sarana rekreasi lain adalah
arsitektur yang membentuk imaji mengenai ruang. Singkatnya, ruang berupa
alam terbuka mengundang semua untuk mengisi dengan segenap interpretasi
dan makna.
Ruang terbuka tidak saja sebagai tempat, namun juga menyimpan sejuta
konsep yang tak mungkin terbendung oleh pikiran manusia. Sangat tidak
mungkin Tuhan menciptakan ruang sebatas yang kita lihat. Dunia adalah
ruang yang dibatasi “tembok” imajiner, sedang ruang di luar imajinasi
kita adalah ketakberhinggaan. Lalu mampukah manusia menghadirkan
karya-karyanya sebagai bagian ruang antara tersebut? Alam, manusia dan
kultur adalah jawabnya.
Pameran ini berkeinginan mengetengahkan pergulatan para perupa dalam
mengeksplorasi keberadaan manusia itu sendiri, merespons alam, dengan
median seni rupa. Trinitas atau hubungan manusia, alam, dan seni hendak
ditawarkan sebagai sebuah jawaban untuk mengantisipasi ketidak-tahuan
dan ketamakan manusia, maupun segala persoalan yang kini kerap mendera
kehidupan alam kita. Pada prinsipnya, pameran ini hendak memberi
nilai-nilai yang bermakna dari sekadar keindahan yang telah ditawarkan
oleh alam sekitar kita, khususnya lingkungan ICC. Seni dalam hal ini
bukan sebagai penghias saja, akan tetapi juga menjadi elemen yang
bermakna bagi pikiran dan kesadaran manusia.
Anda sebagai penonton akan disuguhi dengan sejumlah karya seni,
tepatnya seni patung. Karya-karya yang diikutsertakan merupakan
pengembangan dari seni patung konvensional. Para perupa yang diundang
merasa bahwa lahan yang ada di ICC sangat mencukupi untuk menggerakkan
kesadaran manusia dalam melihat kasus-kasus maupun persoalan-persoalan
di ruang yang lain. Artinya ICC adalah sebuah laboratorium kecil dengan
berbagai keunikannya. Sedangkan karya seni yang disertakan tentu saja
tidak hanya bersifat kuat, tahan panas, dingin, hujan, debu, akan tetapi
juga bersifat menyatukan gagasan mengenai nilai estetik, kesadaran akan
alam, dan respon simbolis tentang isu-isu kontekstual.
Dalam perspektif umum, ruang yang dapat diinterpretasi dalam beberapa hal:
Pertama,
ruang sebagai materi; tempat; lokus; dimana ruang dianggap hanyalah
sebagai wadah untuk ditempati oleh elemen, objek, atau benda apapun
tanpa memperhitungkan kebermaknaan sebagai hal utama.
Kedua,
ruang sebagai konsep visual atau sebagai immaterialisasi bentuk, artinya
ruang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang besar atau tak
berhingga. Ruang dalam perspektif ini “disederhanakan” dengan kata
pengganti yang unik dan khas, seperti sebuah benteng kuno sebagai bangun
sederhana: bujur sangkar, atau dunia sebagai bola dan sebagainya. Ide
ruang semacam ini berasal dari usulan dari ide Hegel yang telah
diaplikasi oleh para pelukis abstrak seperti Piet Mondrian.
Ketiga, ruang sebagai inspirasi. Dalam konteks ini ruang
adalah alam itu sendiri. Segala hal yang ada dalam sebuah ruang yang
berbatas maupun yang tak berbatas dapat menjadi sumber ide, meskipun
ruang tersebut tidak dipakai sebagai bagian atau elemen yang bersifat
materialistik dalam sebuah karya. Ia berperan sebagai sebuah objek.
Keempat,
ruang sebagai dimensi. Sebagai sebuah wujud, ruang sering dimanifestasi
untuk berbagai keperluan: dua dimensi, tiga dimensi, dan empat dimensi.
Dengan adanya model dimensi, seniman maupun pengunjung tidak hanya
memiliki sudut pandang yang sama, tunggal, dan sempit. Ruang sebagai
dimensi menawarkan “rekreasi” perspektif yang dalam dan mengejutkan.
Keempat hal mengenai ruang yang tertera di atas adalah bagian dalam
pameran ini. Pembaca dapat melihat bahwa karya-karya yang tersaji dalam
pameran ini merupakan karya yang bersifat multipersepsi, bahkan pada
konsep ruangnya. Beberapa karya seni patung yang dipamerkan menyingkap
tabir ruang yang hanya sebagai wadah (seperti karya Dunadi, Desrat, Ono
Gaf, dan Yoga) maupun karya yang menyebabkan ruang sebagai konsep
simbolik (seperti pada karya Ismanto dan Upadana).
Sebagian besar karya yang dipamerkan tersaji dalam beberapa bentuk
teknik. Sebagian besar berupa karya seni patung yang berbasis kerja
merangkai benda-benda temuan (seperti pada karya Fransgupita, Ismanto,
Lutse, Ono, dan Saroni), patung-patung cor (seperti pada karya Hedi,
Syahrizal Koto, Dunadi, Wayan Upadana, dan Desrat), maupun “karya
patung” berupa benda alam (seperti karya Wayan Sujana dan Yoga Budhi).
Sehingga tampak bahwa variasi teknik dan bahan dalam pameran luar ruang
amat kental. Semoga sajian semacam ini dapat menginspirasi pemikiran
tentang kajian seni patung dewasa ini.
Setidaknya para penonton dapat menikmati sajian ini sebagai refleksi
atas berbagai kejadian baik yang dialaminya sendiri maupun dialami orang
atau sekelompok lainnya. Seni patung yang dipamerkan hanyalah perantara
awal, sebagai pemicu gagasan dan interpretasi terhadap sejumlah hal
besar yang kita hadapi sebagai bagian dari masyarakat dunia. Intinya,
dari alam kita mengambil nilai-nilai. Alamlah selama ini yang menjadi
bunga impian, di tengah mimpi-mimpi kelam tentang berbagai tingkah
manusia yang merusaknya. +++
Teks per perupa, dalam katalog diletakkan bersanding pada setiap karya perupa:
- 1. Desrat Fianda
Karya Desrat berbasis pada kesadaran bahwa seni adalah alat untuk
menggulirkan pesan-pesan. Desrat tidak hanya menjadikan seni sebagai
penghias ruang yang tujuannya hanya menjadikan manusia lupa atas
berbagai hikmah di sekitar kita. Desrat membawa karya dengan objek utama
pacul (cangkul). Namun jika diperhatikan dengan seksama, pacul besar
yang dipakainya adalah sekumpulan teks yang disatukan. Bagian utama
paculnya adalah baju yang telah dilipat dan dirapikan. Maka jadilah
sebuah pesan singkat, jika biasanya pacul dipakai oleh petani, kini
pacul itu berganti rupa, menjadi baju jas yang eksklusif. Sebuah satir
yang mendalam, bahwa sejata yang biasanya untuk bekerja, telah beralih
rupa. Ukuran karya yang gigantik menjadikan karya ini ingin menawarkan
perubahan dimensi ruang.
- 2.Dunadi
Dunadi memiliki spirit kritis yang sering direpresentasikan secara
unik dan gigantik. Seringkali gagasan-gagasannya bersentuhan pada
suasana multi-krisis di Indonesia, kehidupan alam dan kemanusiaan secara
universal. Sehingga seni patung Dunadi selain memiliki fungsi personal
(ekspresi pribadi) secara otomatis mentransformasi ke dalam dua fungsi
lain sekaligus yakni: fungsi fisik (sebagai seni monumental) &
fungsi sosial (pengingat peristiwa dan peindentifikasi krisis massa).
Inilah bentuk kongkret dan unik dari peran kesenimanan Dunadi yang tak
dimiliki perupa atau pematung lain. Alam bagi Dunadi adalah tempat
bercermin menggali nilai-nilai . menariknya seringkali ia mengungkapkan
konsepsi seninya dalam bentuk mimesis alam.
- 3.Fransgupita
Perupa yang tergolong masih sangat belia ini adalah penggemar lintas
alam, khususnya dengan kendaraan bermotor. Ia mengenal alam tidak saja
untuk dinikmati, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam
karya-karyanya. Krisis alam maupun sosial masyarakat menjadi inspirasi
karya-karyanya. Ia tidak secara khusus membuat karya dengan mencetak
logam maupun membentuk dengan bahan baru. Ia lebih suka memanfaatkan
benda jadi sebagai media mematung. Ia adalah
found object
artist. Keindahan karya-karyanya terletak pada upaya memakai bahan yang
nantinya memunculkan ide-ide baru yang bersifat kritis. Salah satu
contoh menarik adalah karya
Ora et Labora, dimana kemudi motor
diubah selayak figure manusia. Objek berupa kemudi sepeda motor
mengalami transisi fungsi dan secara teknis mampu memberi ruang tafsir
pada para penonton untuk menggali hal-hal yang lebih dari sekadar
kemudi.
- 4. Hedi Hariyanto
Sejak awal karir kesenimanannya, Hedi Hariyanto adalah perupa yang
bekerja dengan berbagai media. Bahkan sampai saat ini ia masih sering
menggunakan bahan-bahan temuan yang ada di sekitar kita, dari objek
berbahan logam, plastik, sampai makanan instan. Dengan menggunakan bahan
temuan ia mampu menggali berbagai hal yang terkait dengan isu-isu
sosial dan alam. Dalam beberapa pameran sebelumnya Hedi kerap diundang
berkarya merespon bahan-bahan alam dan dipamerkan di luar ruang. Namun
sesekali Hedi juga menggunakan bahan-bahan yang dicetak untuk
menciptakan bangun karya maupun ide tersendiri. Pada pameran ini ia
mengusung karya cetak yang berbentuk buah yang dideformasi. Ada tajuk
alam yang terkait dengan dunia artifisial. Alam yang sedang digubah Hedi
dalam karyanya tentu berfungsi agar para penonton merasakan betapa alam
begitu penting bagi hidup manusia.
- 5. Ismanto Wahyudi
Pematung Ismanto mencoba mengeksplorasi medan luar ruang berupa kolam
sebagai “kanvas”. Dari dalam air tumbuh bunga-bunga yang berwarna merah
muda. Menariknya, tangkai-tangkai bunga itu berupa besi dan menancap
tajam, menyangga bunga yang berbentuk senjata: pistol. Ismanto dalam
karya ini tidak berbicara mengenai alam secara langsung. Sebagai seniman
ia seperti berpikir sebagai elemen alam yang turut menjaga
keberlangsungan hidup. Sebagai pematung, Ismanto sering berkutat pada
ide-ide simbolik. Maka tak salah bila dalam pameran ini keberadaan model
berkarya simbolik seperti pada karya Ismanto juga menarik untuk
ditampilkan.
- 6. Lutse Lambert
Karya-karya Lutse berbasis teknik merangkai. Seperti pada beberapa
perupa yang lain, Lutse memakai benda-benda temuan, khususnya berbahan
logam sebagai media berkarya patung. Pekerjaannya tentu menelusuri pasar
barang bekas dan bergaul dengan banyak pedagang rongsok, hingga ia
secara personal memiliki hubungan dengan beberapa penyedia besi rongsok
yang sangat menunjang karya-karyanya. Ia tinggal bilang butuh berapa ton
dan berbentuk apa saja besi atau logam yang dibutuhkan. Pematung yang
juga dosen di ISI Yogyakarta ini secara pribadi sangat mendalami objek
visual berupa laba-laba. Berawal dari ketakutannya pada binatang
penghasil benang tipis itu, Lutse mencoba mengurangi rasa takutnya
dengan menggali informasi mendalam tentang laba-laba. Ketakutan tersebut
rupanya menghasilkan sebentuk ide yang diungkap dengan media
benda-benda logam temuan yang ia sukai. Hasilnya mencengangkan: Lutse
seperti terobsesi mengaktualisasi laba-laba bagai robot-robot yang
hidup.
- 7. Ono Gaf
Ono amat mencintai dunia logam. Setiap hari ia berkutat dengan
bentuk-bentuk besi bekas kendaraan ataupun mesin lainnya yang didapatkan
dari berbagai tempat di sekitar kota Malang. Begitu intensnya ia
menggeluti lekuk liku alias bentuk-bentuk barang bekas berupa logam,
sampai-sampai tidak ada lagi batas bahwa besi-besi tersebut pernah
menjadi atau merupakan bagian dari mesin. Hasilnya berupa “cangkokan”
logam satu dengan yang lain membentuk berbagai figur semi abstrak maupun
figur yang terdeformasi. Jika melihat hasil kerjanya, seni merangkai
besi bekas versi Ono Gaf ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan
teknik las. Las sebagai “lem”. Jelas sekali bahwa orientasi berkaryanya
bersifat antropologis, semua ukuran merujuk pada dimensi manusia.
Begitu lama akrab dengan besi dan logam yang dicangkoknya, kadang-kadang
Ono memiliki pemikiran-pemikirannya juga sekeras besi.
- Saroni
Mengapresiasi kerja kreatif Saroni sama dengan mengapresiasi
keterampilan tangannya. Pemikirannya mengembara ke segala persoalan.
Artinya pikiran dan tangannya ibarat pisau dan buah yang hasilnya enak
sekaligus indah. Ia pernah mengungkapkan ide-ide mengenai isu sosial,
lingkungan, juga aspek-aspek formal dalam kajian seni rupa. Keahliannya
mengelola bahan adalah bagian yang tak bisa dilepaskan darinya. Oleh
karena itu, menonton karya-karya Saroni adalah menonton detail.
Kerajinan tangan yang dimilikinya tidak saja mampu menghasilkan kayu
dengan ornamen yang halus (maklumlah bahwa ia juga anak Jepara yang
dekat dengan dunia mebel berukir), namun kerja memadukan objek satu
dengan yang lain juga menarik untuk dinikmati. Karya-karya Saroni
bertajuk utama
Sebatang Air ini disebar diseluruh ruang yang
ada di ICC. Ia ingin mengatakan bahwa eksistensi air tidak saja
berbentuk cair namun juga telah menjadi bagian dalam setiap tubuh atau
batang makhluk hidup di dunia ini. Ia ingin memberi penghargaan terhadap
air.
- 9. Syahrizal Koto
Secara umum karya-karya Syahrizal Koto berbasis pada teknik cor logam
dan resin. Sedangkan tema-tema yang dikerjakan didominasi oleh
pemikiran tentang alam. Sebagian karya-karyanyanya mengekploitasi bentuk
kuda dan elemen alam seperti daun dan benda-benda alam lain yang
diekspresikan dalam bentuk-bentuk semi abstrak. Pada pameran ini
Syahrizal Koto mengembangkan pemikiran dengan tema kasih sayang. Ia
ingin mengungkapkan persoalan ibu bumi yang menurunkan semua makhluk ke
dunia. Oleh sebab itu, patung yang dibawa berbentuk ibu sedang menyusui.
Meskipun agak klise secara visual, namun isu ini rupanya akan tetap
menjadi sebuah alunan klasik.
- 10. Wayan Sujana Suklu
Wayan Sujana atau Suklu banyak bergerak pada karya-karya lintas media
dan isu. Basis berkaryanya memang seni lukis, namun sering pula ia
mengungkapkan ide-idenya lewat karya-karya berbasis seni instalasi dan
performans. Saat ini ia ingin menghubungkan berbagai khasanah antara
ritual, seni, alam, dan ruang urban. ICC sebagai ruang urban yang berada
pada suasana yang masih natural ini hendak ditafsir dengan sebentuk
ritual. Suklu dalam pameran ini berkehendak tidak saja ingin mengurai
ruang material berbentuk fisik, namun juga menandai dan menyemai
kebersatuan ruang dengan dimensi alam dan spititual yang bersifat
pribadi. Dengan mengambil ruang berupa bersilangan jalan yang membelah
ICC ia ingin menanamkan sifat-sifat alam dengan sebentuk lelaku
(performans) menanam tahi cacing pada persilangan jalan tersebut. Tahi
cacing diketahui merupakan humus bagi tanaman kini juga semakin sulit
dicari. Tahi cacing yang berukuran amat kecil ini rupanya mendapat
tempat yang dominan dalam pameran luar ruang. Inilah “patung” yang
dihidangkan dengan cara yang dramatik.
- 11. Wayan Upadana
Ia merupakan pematung muda yang masih terus menggeluti dunia tradisi
Bali. Agaknya Upadana tidak ingin kehilangan jatidiri sebagai orang
Bali. Ia sendiri merupakan orang Bali yang berada pada persimpangan
zaman alias perubahan era, tak salah bila ia juga sedang mendokumentasi
perubahan tersebut dalam setiap karyanya. Upadana tidak mengukur
karyanya pada aspek material yang dipakai atau kecocokan ruang yang
digunakan. Ia ingin menggulirkan simbolisasi ruang yang ada di ICC
sebagai ruang yang turut menyelenggarakan perubahan tersebut pada
dirinya maupun pada tradisi Bali, dan tradisi-tradisi lama lainnya. Tak
salah bila karya
Euphoria Globalisasi menjadi sebuah titik
tolak untuk melihat bahwa ruang yang dimiliki ICC adalah ruang sebagai
konsep yang simbolik. Meskipun pameran ini berlatar pameran “luar
ruang”, namun “luar ruang” pada ICC ini merupakan bagian dalam sebuah
pameran. Karya ini membuat persepsi ruang menjadi ganda dan kompleks.
- 12. Yoga Budhi Wantoro
Selepas belajar di Jurusan Seni Patung ISI Yogyakarta ia semakin
meneguhkan kecintaannya pada batu. Sejumlah karya pada pameran yang
pernah diikutinya mengajukan berbagai tema seperti sejarah, sosial,
lingkungan, maupun isu fromalisme seni rupa tanpa menggeser
perhatiaannya pada medium batu. Dalam perkembangan sejarah dan teori
seni rupa, material batu memang telah dikupas tuntas. Secara khusus,
Yoga tidak berada pada kreativitas formal yakni mengolah bentuk batu
semata. Akan tetapi lebih menekankan pada aspek simbolik. Kali ini ia
bicara tentang kondisi kekayaan bumi. Batu diekplorasi untuk berbicara
tentang eksploitasi batu (alam).